Margomulyo, 31 Januari 2025 – Dalam suasana yang khidmat di Masjid An-Nahdlah, Margomulyo, KH. M. Ridlwan Hambali, Lc, MA. (Direktur Pasca Sarjana UNUGIRI Bojonegoro) menyampaikan khutbah Jumat dengan tema yang begitu relevan bagi umat Islam: amalan di awal bulan Sya’ban. Khutbah ini mengajak jamaah untuk lebih memahami makna dan keutamaan bulan Sya’ban sebagai gerbang menuju bulan suci Ramadhan.
Menghidupkan Bulan yang Sering Terlupakan
Dalam khutbahnya, KH. Ridlwan Hambali
mengawali dengan mengajak jamaah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT,
sebagaimana firman-Nya dalam Surah Yunus ayat 63-64 yang menegaskan bahwa
orang-orang yang beriman dan bertakwa akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Beliau kemudian menjelaskan makna bahasa
dari Sya’ban, yang berasal dari kata syi’ab, yang berarti jalan di atas gunung.
Makna ini mencerminkan bahwa bulan Sya’ban adalah jalan menanjak menuju bulan
suci Ramadhan, yang menjadi puncak ibadah bagi umat Islam.
Namun, di balik posisinya yang strategis
di antara bulan Rajab dan Ramadhan, bulan Sya’ban kerap dilupakan oleh banyak
orang. Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan An-Nasai, Rasulullah SAW bahkan
menyebut Sya’ban sebagai bulan yang sering terabaikan oleh manusia.
“Dilupakan bukan berarti tidak mulia.
Justru, karena kurang mendapat perhatian, bulan ini menjadi kesempatan bagi
mereka yang ingin lebih dekat kepada Allah dengan amalan-amalan yang sering
terlewatkan,” ungkap KH. Ridlwan Hambali dalam khutbahnya.
Peristiwa Penting di Bulan Sya’ban
Lebih lanjut, beliau menyoroti beberapa
peristiwa besar yang terjadi di bulan Sya’ban sebagai bukti kemuliaannya.
Pertama, di bulan inilah Allah SWT menurunkan
ayat perintah bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dalam Surah Al-Ahzab ayat
56. Shalawat yang Allah dan para malaikat panjatkan kepada Rasulullah menjadi
bukti kemuliaan beliau, sekaligus anjuran bagi umat Islam untuk memperbanyak
shalawat sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi.
Kedua, pada bulan Sya’ban tahun kedua
Hijriyah, Allah mewajibkan ibadah puasa bagi umat Islam. Hal ini menjadi
penanda bahwa Sya’ban bukan sekadar bulan biasa, melainkan juga bulan persiapan
mental dan spiritual menuju Ramadhan.
Ketiga, bulan Sya’ban juga mencatat sejarah
perubahan kiblat umat Islam dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram. Peristiwa
ini menegaskan bahwa ibadah bukan hanya soal arah fisik, tetapi lebih kepada
ketaatan kepada perintah Allah.
Menghidupkan Amalan di Bulan Sya’ban
KH. Ridlwan Hambali mengingatkan bahwa
para ulama salaf sangat memperhatikan bulan Sya’ban dengan memperbanyak puasa
sunnah, dzikir, istighfar, serta memperbaiki hubungan dengan sesama.
Di Indonesia, khususnya di kalangan
masyarakat Jawa, bulan Sya’ban dikenal dengan sebutan Bulan Ruwah—berasal dari
kata ruh—yang menandakan momen untuk mendoakan arwah leluhur. Tradisi ini
mengakar kuat dalam masyarakat, mengajarkan nilai-nilai kebaikan, dan menjadi
bagian dari persiapan menuju bulan Ramadhan.
Membangun Kesadaran Kolektif untuk Memuliakan
Sya’ban
KH. M. Ridlwan Hambali menekankan bahwa
salah satu tantangan besar dalam kehidupan modern adalah kecenderungan umat
Islam untuk lebih fokus pada bulan Ramadhan, sementara bulan Sya’ban sering
kali terlewatkan tanpa persiapan yang matang.
“Jika kita ingin meraih keberkahan
Ramadhan secara maksimal, maka kita harus mulai mempersiapkan diri sejak
Sya’ban. Sebab, orang yang berhasil di bulan suci bukanlah mereka yang memulai
dari nol, tetapi yang sudah melatih diri sebelumnya,” ujar beliau dalam khutbahnya.
Lebih jauh, beliau mengajak umat Islam
untuk merefleksikan kembali amalan-amalan yang bisa dilakukan di bulan ini,
antara lain:
Memperbanyak puasa sunnah, terutama pada
pertengahan bulan (Nisfu Sya’ban), sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Meningkatkan bacaan shalawat, mengingat
pada bulan ini turun perintah Allah untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Memperbanyak istighfar dan doa, karena di
bulan ini catatan amal manusia selama setahun diangkat dan diperbaharui.
Memperbaiki hubungan sosial, dengan cara
meminta maaf kepada sesama serta meningkatkan kepedulian kepada fakir miskin
dan dhuafa.
Menjaga Spiritualitas dalam Tradisi
Nusantara
Dalam konteks keislaman di Indonesia,
bulan Sya’ban juga dikenal sebagai Bulan Ruwah, yang merupakan bagian dari
tradisi masyarakat Jawa. Pada bulan ini, banyak umat Islam yang menggelar doa
bersama, tahlilan, dan ziarah kubur untuk mendoakan arwah leluhur.
Tradisi ini, menurut KH. Ridlwan Hambali,
bukanlah sekadar budaya turun-temurun, melainkan bentuk refleksi dari ajaran
Islam yang menekankan pentingnya menjaga silaturahmi, baik dengan yang masih
hidup maupun dengan yang telah wafat.
“Sebagaimana sabda Rasulullah, ‘Barang
siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada
Allah.’ Maka, sudah sepatutnya kita menghormati para pendahulu kita, mendoakan
mereka, dan melanjutkan kebaikan yang mereka wariskan,” jelas beliau.
Tradisi Ruwahan juga menjadi momentum bagi
masyarakat untuk introspeksi dan memperbaiki diri, sehingga saat memasuki bulan
Ramadhan, mereka telah membersihkan hati dari segala bentuk permusuhan, dendam,
dan kesalahan terhadap sesama.
Kesimpulan: Menghidupkan Sya’ban dengan
Ibadah dan Kebaikan
KH. Ridlwan Hambali mengakhiri khutbahnya
dengan mengajak jamaah untuk menghidupkan bulan Sya’ban dengan amal saleh dan
kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
“Jangan biarkan Sya’ban berlalu begitu
saja tanpa makna. Manfaatkan kesempatan ini untuk memperbaiki kualitas ibadah,
membersihkan hati, dan memperbanyak doa agar kita semua diberikan kesempatan
bertemu dengan Ramadhan dalam keadaan terbaik,” tutup beliau dengan penuh
harap.
Khutbah Jumat ini menjadi pengingat bagi
umat Islam bahwa Sya’ban bukanlah bulan biasa. Ia adalah gerbang menuju bulan
suci, tempat kita mempersiapkan diri agar lebih siap menyambut limpahan
keberkahan dan ampunan di bulan Ramadhan. Dengan memahami keutamaan bulan ini
dan mengamalkan sunnah yang diajarkan Rasulullah, umat Islam dapat meraih
keberkahan yang lebih luas, tidak hanya di bulan Ramadhan tetapi sepanjang
tahun.
Usai
menyampaikan khutbah, KH. M. Ridlwan Hambali, Lc, MA tidak langsung beranjak
pergi. Beliau meluangkan waktu untuk beramah tamah dengan para takmir Masjid
An-Nahdlah serta beberapa jamaah yang masih bertahan di serambi masjid. Suasana
penuh kehangatan dan kekeluargaan begitu terasa, mencerminkan eratnya hubungan
ulama dengan masyarakat setempat.
Dalam perbincangan santai tersebut, takmir
masjid menyampaikan apresiasi atas isi khutbah yang begitu mendalam dan relevan
bagi umat Islam, terutama menjelang bulan Ramadhan. Beberapa pengurus masjid
juga memanfaatkan momen ini untuk berdiskusi tentang berbagai program keagamaan
yang dapat digalakkan di bulan Sya’ban dan Ramadhan, termasuk kegiatan kajian,
bakti sosial, serta peningkatan semangat ibadah di kalangan jamaah.
KH. Ridlwan Hambali dengan penuh
kebijaksanaan menyambut baik diskusi tersebut dan memberikan beberapa arahan
terkait pentingnya memaksimalkan potensi masjid sebagai pusat ibadah dan
pendidikan spiritual bagi masyarakat.
"Masjid bukan hanya tempat shalat,
tetapi juga pusat pembinaan umat. Jika masjid hidup dengan kajian, ibadah, dan
kegiatan sosial, maka masyarakat di sekitarnya pun akan merasakan keberkahannya,"
ujar beliau.
Momen Kebersamaan yang Diabadikan
Sebagai tanda kenangan, acara ramah tamah
tersebut ditutup dengan sesi foto bersama. KH. Ridlwan Hambali bersama takmir
masjid dan beberapa jamaah yang ikut serta, dengan latar belakang Masjid
An-Nahdlah yang megah. Senyum dan kehangatan terpancar dalam potret kebersamaan
itu, seolah menjadi simbol ukhuwah Islamiyah yang semakin kuat.
Bagi para jamaah, momen ini tidak hanya
sekadar dokumentasi, tetapi juga bentuk penghormatan kepada seorang ulama yang
telah memberikan ilmu dan motivasi spiritual melalui khutbahnya. Banyak di
antara mereka yang berharap bahwa kunjungan beliau ke masjid ini bukanlah yang
terakhir, melainkan awal dari silaturahmi yang lebih erat di masa mendatang.
Dengan berakhirnya sesi foto bersama, satu
per satu jamaah berpamitan. KH. Ridlwan Hambali pun meninggalkan Masjid
An-Nahdlah dengan doa dan harapan, agar setiap ilmu yang telah disampaikan
dapat diamalkan dengan baik, menjadikan bulan Sya’ban sebagai momentum
meningkatkan keimanan dan persiapan menyambut Ramadhan yang penuh berkah.
(Artikel ini disusun oleh Badrun, berdasarkan khutbah yang disampaikan oleh KH. M. Ridlwan Hambali, Lc, MA di Masjid An-Nahdlah, Margomulyo, pada 31 Januari 2025.)
0 Post a Comment:
Posting Komentar